Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan
jelas sekali oleh Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan
tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah. Dalam sebuah penuturan, ia
menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara
benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam:
"Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah"
dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah),
dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai
(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa
makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah
apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna
(sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan
menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna
tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai
Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku
(ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan
nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang
dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan.
Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah
suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu,
sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah
sama dengan Dia ..." [15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar