Sabtu

Atasi Korupsi Dengan Pendekatan Teologis

Oleh : M. wiyono
Salah satu inisial KKN yang terjadi di bumi pertiwi pada saat ini merupakan kendala utama dalam sebuah proses membangun sebuah tatanan bangsa yang maju dan dinamis. Pelanggaran yang berkaitan dengan korupsi menempati rating pertama dari sekian musibah yang menimpa selain banjir, kebakaran, tawuran antar pelajar, peledakan bom yang tak bertuan diberbagai tempat, atau mungkin 'banjir' janji para caleg juga akan manambah deretan musibah yang ada.

Mengakarnya korupsi yang terjadi itu seolah-olah telah menjadi budaya bagi penguasa —khususnya—dan semua lapisan masyarakat pada umumnya, hal ini menjadi musuh yang nyata ('aduwwun mubiin) yang harus segera diperangi dan terus menerus diupayakan jalan keluarnya, diantara sekian cara yang pernah dicoba ternyata belum patut mendapat acungan jempol dan belum mampu menunjukkan hasil yang gemilang, maka penulis memberikan tawaran konsep yaitu memberikan wawasan nasionalisme melalui terapi psikologis yang dikemas dalam bingkai teologis yang dilakukan melalui meknisme dakwah. Ironis sekali, aparat pemerintah yang seharusnya menjadi abdi negara yang berfungsi menjalankan roda pembangunan dan sebagai abdi masyarakat guna melindungi rakyatnya dari kesengsaraan dan kelaparan tetapi pada realitasnya justru sebaliknya menghambat laju pembangunan dan menambah tebalnya geregetan di hati rakyatnya. Pemilu mendatang harus menghasilkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar kredibel benar-benar memegang teguh amanat rakyat.

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya korupsi; pertama, adanya wewenang yang mendorong untuk membuat sebuah kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan bagi pemegang kekuasaan tersebut. Kedua, peluang yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas korupsi tersebut. Ketiga, faktor moral dan kemiskinan spiritual, faktor ini sangat memungkinkan adanya kecenderungan untuk melakukan tindak korupsi karena hal ini muncul dari dalam diri sang pelaku itu sendiri, adanya wewenang sebagai pemegang policy dan kesempatan hanyalah sebagai bagian dari faktor pendorong an-sich. Tetapi keringnya spiritual lah yang akan membentuk peluang-peluang baru dan merebut kewenangan tersebut, dalam kaitannya ini, maka diperlukan adanya studi dakwah alternatif dalam rangka tindak penyadaran dengan cara 'mengetuk' konsistensi aparat pemerintah terhadap komitmen keberagamaannya, karena ada titik kesamaan di sana, yaitu adanya larangan korupsi dalam semua teologi keagamaan, kalau yang kita kenal adalah teologi yang lebih mengedepankan sisi vertika antara hubungan manusia dengan tuhannya maka dalam wawasan teologi dalam konteks ini difokuskan nuansa kemanusiaannya. teologi yang hanya berbicara tentang ketuhanan maknanya akan menguap begitu saja.

Wawasan teologi yang diilhami dengan semangat kemanusiaan ini dengan sendirinya menjadi gerakan reformasi moral yang khas yang mempunyai implikasi positif terhadap aparatur pemerintah, implikasi positif yang dimaksud adalah peningkatan kepekaan sosial terhadap rakyat tertindas yang marginal dan memberikan kesadaran manusia yang utuh dalam menjalankan fungsinya untuk melestarikan dan mengabadikan alam semesta ini. Jika sepakat dengan hal ini maka ujung tombaknya adalah muballigh dan para kyai karena dialah secara de facto salah satu –walau bukan satu-satunya-- pemegang otoritas fatwa keagamaan, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah menggandeng para dai sebagai model kampanye alternatif untuk menghentikan korupsi, mengapa demikian?, karena kultur masyarakat Indonesia terbangun dari wawasan keagamaan bukan dari wawaasan keilmuan an sich. Sekali lagi, ini adalah salah satu cara dan bukan satu-satunya cara.

Pemberlakuan sebuah gerakan dalam konteks korupsi, mustahil akan berhasil tanpa mempertimbangkan konstruk kultur kemasyarakatan itu dibentuk, dan inilah yang digagas oleh Hassan Hanafi dalam menata masyarakat Mesir dan terbukti memperoleh hasil yang sangat gemilang pada masanya. Bahwa, penerapan sistem apapun harus mempertimbangkan karakter historis yang membentuk masyarakat tersebut (Jurnal Ulumul Qur'an:1994). Dalam konteks keindonesiaan, pertimbangan utamanya adalah faktor religius maka yang paling efektif adalah mengedepankan fakor keagamaan sebagai sasaran uatama dalam penyadarannya tersebut, tidak hanya terfokus pada sosial-politik belaka.

1 komentar: